BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-qu’ran sebagai sumber ajaran
Islam pertama dan sebagai pedoman umat Islam, yang didalamnya terdapat berbagai
macam ayat yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya dan
mempelajarinya.Sehingga muncullah berbagai penafsiran dari para ulama ahli
tafsir dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan
mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan
metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode
yang dimaksud yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy.
Banyak cara pendekatan dan pembagian tafsir yang mengandalkan
penalaran ataupun analitis, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita
bermaksud menelusurinya satu demi satu..
Pentingnya metode tafsir tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari
dan memahami ayat AlQuran itu sendiri secara mendalam.
Dalam pembahasan makalah ini, pemakalah akan mencoba
menjelaskan dan menguraikan dari pengertian metode tafsirtahlili, pembagian
dari metode tafsir tahlili,ciri-ciri metode ini,dan jugakelebihan dan
kekurangan metode tahlili.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari metode tafsir tahlili?
2. Bagaimanakah
pembagian dari metode tafsir tahlili?
3. Apasajakah
ciri-ciri dari metode tafsir tahlili?
4. Bagaimana
kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili
C. Tujuan
Penulisan:
1. Untuk
mendeskripsikan dari pengertian metode tafsir tahlili,
2. Untuk
mengetahui pembagian dari metode tafsir tahlili,
3. Untuk
mengetahui ciri-ciri
dari metode tafsir tahlili,
4. Untuk
mengetahui kelebihan
dan kekurangan metode tafsir tahlili.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Metode Tafsir Tahlili
Kata “tahlili”
berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti
menguraikan atau menganalisa. Yang dimaksud dengan metode analitis yaitu,
menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.
Dalam
metode ini, biasanya mufasir menguraikan maknanya yang dikandung oleh
Al-qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya di
dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat
yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turun ayat, kaitannnya dengan ayat yang lain, baik sebelum maupun
sesudahnya, dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan
berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh nabi,
sahabat, para tabi’in maupun tafsir lainnya[1].
Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzi’i
adalah suatu metode tafsir yang mufasirya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-qur’an
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahlily
diuraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.
Bermula
dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam Al-qur’an, mulai dari Surah Al Fatikhah hingga Surah An-Nass,
2.
Menjelaskan
asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh
hadist (bir riwayah),
3.
Menjelaskan
munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau
sesudahnya,
4.
Menjelaskan
makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan
yang ada pada ayat lain,atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW
ataudengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai
sebuah pendekatan,
5.
Menarik
kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut[2].
B.
Pembagian
Metode Tafsir Tahlili
Dengan demikian, dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ada
yang menggunakan sandaran hadist-hadist Rasulullah yang selanjutnya disebut tafsir
bi al-matstur, da nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang
disebut tafsir bi al-ra’yi. Namun seiring perkembangan zaman,
selanjutnya metode tahlili berkembang menjadi beberapa bagian, yaitu: at-tafsir
al-shufi, tafsir al-fasafy, tafsir
al-fiqhi, tafsir al-‘ilmy, dan tafsir
al-adaby al-ijtima’y.
1.
Tafsir bi Al-Matsur
Tafsir bi al-matsur adalah penafsiran dengan menengahkan penafsiran
pada para sahabat nabi dan para kaum tabi’in yang selalu disertai dengan isnad
(sumber-sumber riwayat) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang
paling kuat dan tepat[3].
Mengandalkan metode tahlili dengan pedekatan tafsir bi
al-matsturmemiliki keistimewaan, namun juga memiliki kekurangan. Adapun
keistimewaannya, yaitu:
1.
Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami Al-qur’an
2.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
3.
Megikat
mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektifitas berlebihan
Adapun kekurangan tafsir bi al-matsur yaitu:
1.
Terjerumusnya
sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustrasaan yang bertele-tele
sehingga pesan pokok Al-qu’an menjadi kabur dicelah uraian itu
2.
Seringkali
konteks turunnya ayat (uraian asbab nuzulatau situasi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh)
hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat tersebutbagaikan
turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya[4].
Dalam perkembangannya tafsir bi bi al-matstur terdapat silang pendapat pada riwayat-riwayat
yang dinukil dari pendahulu umat. Pendapat mereka sedikit sekali jumlahnya
disbanding dengan generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar oerbedaan tersebut
hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya
berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicangkupnya:
Berkata Ibn Taimiyah:
Perbedaaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit
jumlahnya. Dana pada umumnya perbedaan itu berkonotasi variatif, bukan kontradiktif.
Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufasir
diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi berbeda dari
seorang mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjukan makna yang
berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat
al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan qur’an, maksudnya
mengikuti qur’an, sedang yng lain dengan Islam. Kedua tafsiran ini sama,
sebab islam ialah mengikuti al-qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu
menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh orang lain.
Kedua, masing-masing
mufasir menafsirkan kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna
dari sekian banyak macamnya sebagai contoh danuntuk mengingatkan pendengar
bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran firman
Allah:
“kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara mereka ada yang berbuat
aniaya (dzalim) terhadap diri sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtasid)
da nada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan”(QS.Fatir: 32).
Dikatakan sabiq ialah orang yang menunaikan shalat diawal
waktu, muqtasid ialah orang yang melakukan shalat di tengah waktu,
sedang zalim ialah orang yang mengakhirkan shalat asar sampai saat
langit berwarna kekuning-kuningan. Mufasir lain mengatakan sabiq adalah
orang yang berbuat baik dengan bersedekah dismping zakat, muqtasid adalah orang yang menjalankan zakat wajib
saja, dan zalim adalah orang yang
enggan membayar zakat[5].
Contoh dari tafsir ini, yaitu:
ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب فا ينما تؤ
لؤ ا ؤ جه ا لله ا ن ا لله ؤ ا سع عليم
“milik Allah timur dan barat, maka kearah
mana saja kamu menghadap, disana ada Allah. Sesungguhnya Allah maha Lapang
(memberikan toleransi untuk menghadap kepada-Nya dimana saja)lagi maha
Mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 115)
Yang dimaksud dengan oleh Allah degan
firmannya,ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب ) ) ialah Allah berwenang
penuh atas kepemilikan dan pengaturan keduanya, seperti dikatakan: “rumah ini
kepunyaan si Fulan”, artinya dia berwenang penuh atas kepemilikan rumah itu.
Dalam kasus ulama, ayat ini turun kepada Nabi
SAW sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam
shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan,
atau menemuikesukaran di dalam shalat wajib. Dengan demikian diberitahukan
kepada Nabi bahwa ke mana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah[6].
Adapun kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam
deretan tafsir bi al matsur yaitu, Jami Al-Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an karya
Imam Ibn Jarir al-Thabary, Ma’alim Al-Tanzil yang terkenal dengan Al-Tafsir
bi Al-Manqul karya Imam Al-Baghawi, Al-Durr Al-Matsur fy At-tafsir bi
Al-Ma’tsur karya Jalal al-Din Al-Suyuthy, Tanwir al-Miqyas min Tafsir
Ibn Abbas karya al-Fayruzabady, Tafsir al-Qur’n Al-‘Adhim karya Abu
Al-Fida’, dan Al-Bahr karya Abu al-Layts al-Samarqandy[7]
2. Tafsir Bi Ar-Ra’y
Tafsir bi ar-ra’y adalah tafsir ayat-ayat
Al-qur’an yang didasarkan pada ijtihad para mufasirnya dan menjadikan akal
fikiran sebagai pendekatan utamanya. Menurut Adz-Dzahaby, para ulama
telah menetapkan diterimanya tafsir ar-ra’y, bahwa penafsirnya: a).
Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, b). Mengetahui asbabun
nuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, dan ilmu-ilmu yang lain, c).Tidak
menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,
d). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi, e). Tidak
menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud
justifikasi terhadap aliran tersebut, f). Tidak menganggap bahwa tafsirnya
itulah yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang
pasti[8].
Contoh dari pemikiran tafsir ini yaitu, dari penjelasan QS.
Al-Baqarah: 115, yaitu sesuai dengan maksud ayat فؤ
ل ؤ جهك شطر ا لمسجد الحر ا م حيثما كنتم فؤ لؤ ا ؤجؤ هكم شطر ه
, “niscaya
(di sana ada Allah), artinya di tepat itu ada Allah, yaitu tempat yang
disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya di situ”. Yang
dimaksud ialah apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan
Baitul Maqdis, maka janganlah khawatir sebab permukaan bumi telah Ku-jadikan
masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang di tempat mana
saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu
lakukan ditempat itu, tidak terikat pada masjid tertentu dan tidak pula yang
lain, demikian pula tidak terikat lokasi mana pun. Hal itu dimungkainkan karena
Allah Maha Lapang dan Maha Luas. Dia ingin memberi kelonggaran dan kemudahan
kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha Mengetahui) tentang kemashlahatan dan
kebutuhan mereka. Latar belakang ini berdasarkan dengan latar belakang turunnya
ayat yang berkenaan denganshalatnya seorang musafir di atas kendaraan di mana
dia menghadap arah kendaraannya[9].
Adapun metode tahlili yang menggunakan pendek
dan rasio atau tafsir bi ar-ra’y dikalangan para ulama adanya perbedaan
pendapat, yaitu ada yang mengharamkan dan adapula yang membolehkan. Pendapat
yang mengharamkan berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu atau pemikirannya sendiri,
berarti ia telah menyediakan tempatnya didalam neraka”. Sementara pendapat
yang membolehkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendapatnya sendiri, adalah
penafsiran yang tanpa disertai dalil atau hujjah atau karena orang berusaha
menafsirkan Al-qur’an padahal ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dan
pokok hukum agama, atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikan
makna ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini sejalan dengan perintah Allah sebagaimana
dalam sebuah ayat: “Al-Qur’an adalah Kitab yang telah kami turunkan kepadamu
(Muhammad), penuh dengan berkah agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan agar
orang-orang yang berakal dapat memperoleh pelajaran”. (QS. Shaad: 29)[10].
Menurut hasil penelitian, bahwa tafsir yang
paling terkenal yang memenuhi syarat tafsir ar-ra’y yaitu Mafaatih
al-Ghaib karya ar-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asraaru al-ta’wil karya
al-Baidhawi, Lubaab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil karya Khazin[11].
3. Tafsir al-Shufy
Tafsir al-Shufy adalah tafsir yang
berusaha menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan
isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.
Tafsir ini ada dua macam, yaitu: tafsir shufy
nadzari (teoritis) yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan ayat Al-Qur’an
berdasaran teori-teori atau paham-paham tasawuf yang umumnya bertentangan
dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari penafsiran bahasa dan tafsir shufy
praktis (‘amali) yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam suluknya.
Diantara kitab-kitab tafsir shufy antara
lain tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya al-Tsauri, Haqaiq al-Tafsir karya
al-Sulami, dan ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an karya al-Syirazy[12].
Sebagai cotoh berkenaan dengan firman Allah:
“dan Kami mengangkatnya ke tempat paling
tinggi”. (QS.Maryam: 57). Ia berkata, “tempat paling tinggi adalah tempat
yang diputari rotasi alam raya, yaitu orbit matahari. Disitulah maqam
(tempat tinggal) rohani Idris....”. kemudian Ia berkata lebih lanjut: “adapun
kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah tempat untuk kita, umat Muhammad,
sebagaimana telh dijelaskan-Nya,kalian adalah orang-orang yang paling tinggi
dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (QS.Muhammad: 35). Jadi yang
maksudkan (berkenaan dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan
ketinggian kedudukan[13].
4. Tafsir al-Fasafy
Tafsir al-fasafy adalah penafsiran ayat-ayat Al-qur’an
berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk
mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat degan
ayat-ayat Al-qur’an maupun yan berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap
bertentangan dengan ayat-ayat Al-qur’an.
Segi positif dari tafsir ini adalah karena
berusaha mengkaji secara filosofis ayat-ayat Al-qur’an yang dapat dikonsumsi
oleh kaum cendekiawan, sekaligus memperlihatkan ketinggian dan kedalaman dari
ajaran tersebut. Adapun segi negatifnya adalah terjadinya kemungkinan pemaksaan
ayat Al-qur’an untuk disesuaikan atau dicocok-cocokan dengan suatu teori atau
paham filsafat yang ada.
Contoh dari kitab tafsir ini adalah al-Tafsir al-Kabir wa
Mafatih al-Ghayb karya al-Fakhr al-Razi[14].
5.
Tafsir Al-Fiqhy
Tafsir al-fiqhy adalah tafsir yang menitikberatkan bahasan
dan tinjauannya pada aspek hukum dari Al-qur’an.
Keistimewaan tafsir ini adalah menolong kita mendapatkan
rujukan-rujukan yang berharga dalam bidang hukum islam. Adapun kekurangnnya,
disamping bersifat sekretarian juga cenderung melihat hukum islam secara legal-formal
yang tidak memperlihatkan segi-segi dinamika dan hukum islam itu sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam tipe ini, antara lain: Ahkam
al-Qur’an karya Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an karya al-‘Araby, dan Al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an karya imam al-Qurtuby[15].
Jadi, sistem penafsiran menggunakan tafsir ini melihat dari segi
pembahasan tinjauan pada aspek hukum islam di dalam Al-qur’an sebagai pendekatannya.
6.
Tafsir al-‘Ilmy
Tafsir al-‘ilmy adalah menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an
berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungan ayat berdasarkan ilmu
pengetahuan.
Oleh karena itupenafsiran ilmiah dapat diterima dengan memenuhi
syarat-syarat: penafsiran ilmiah sedapat mungkin mengikuti pola tafsir mauhu’iy
untuk menghindari parsialisasi, ayat-ayat Al-qur’an tidak hanya befungsi
sebagai justifikasi terhadap teori-teori ilmiah yang ada, dan tidak
bertentangan dengan ketentuan bahasa Arab sebagai bahasa Al-qur’an.
Segi positif dari penafsiran ini, adalah memperlihatkan bahwa
al-qur’an sesungguhnya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan
al-qur’an mendorong pengembangan ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia. Adapun segi
negatifnya adalah adanya kecenderungan pemaksaan ayat-ayat al-qur’an sendiri
yang pada gilirannya dapat menimbulkan keraguan terhadap keraguan al-qur’an.
Kitab-kitab tafsir ini antara lain: Jawahir fy al-Qur’an karya
Syaikh Thanthwi Jawhari, al-Islam fy ‘Ashr al-‘Ilmi karya Dr. Muhammad
Ahmad al-Ghamrawy, dan al-Ghida’ wa al-Dawa karya Dr.Jamal al-Din
al-Fandy[16].
7.
Tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Tafsir al-adaby al-ijtima’y merupakan tafsir yang
menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-qur’an dari segi ketelitian
redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan-tujuan al-qur’an yaitu
membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian mengadakan penjelasan ayat dengan
hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan.
Unsur pokok dari tafsir ini, yaitu: menguraikan ketelitian redaksi
ayat-ayat al-qur’an, dengan susunan kalimat yang indah, eksentuasi yang
menonjol pada tujuan diuraikannya al-qur’an, dan penafsiran ayat dikaitkan
dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Kelebihan dari tafsir ini, yaitu membumikan al-qur’an dalam
kehidupan manusia, menjadikan ajaran-ajaran al-qur’an menjadi lebih praktis dan
pragmatis. Sedangkan kekurangannya adalah adanya kecenderunga melegalisasi
masalah-masalah sosial budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu dan
adanya potensi kearah pemaksaan ayat-ayat al-qur’an untuk tunduk pada teori-teori
ilmiah.
Kitab-kitab tasir yang mengggunakan metode ini, antara lain: tafsir
al-Manar karya Syaikh Muh.Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir al-Qur’an karya
Syaikh Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud
Syaltut dan tafsir al-Wadhih karya Mahmud Hijazy[17].
C.
Ciri-ciri
Metode Tafsir Tahlili
Adapun ciri-ciri dalam metode analitis yaitu:
· Menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara berurutan dari ayat pertama
sampai ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan,
· Bukan menafsirkan al-qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya,
melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya
· Melebar dalam penafsirannya
· Tidak menuntaskan permasalahan melainkan sesuai dengan kapasitas
yang ditafsirnya[18].
D.
Kelebihan
dan Kekurangan Metode Tahlili
1)
Ruang
lingkup yang luas
Penafsiran dengan menggunakan metode ini, dikembangkan menurut
keahlian para masing-masing mufasir. Contohnya, dalam ahli bahasa berpeluang
untuk menafsirkan bahasa al-qur’an dari pemahaman kebahasaaan, seperti tarsir al-Nasafi
karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan titik
tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli tafsir dalam menafsirkan dari
berbagai sudut pandang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Akan tetapi
kembali lagi dalm menafsirkannya sesuai dengan kaidah cara penafsiran yang
berlaku.
2)
Memuat
berbagai Macam Ide
Tafsir ini memuat berbagai macam ide dari para mufasir, dimana
mufasir lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan dan gagasan-gagasan baru
dalam penafsiran al-qur’an[19].
Adapun kekurangan dari metode ini yaitu:
1)
Menjadikan
petunjuk al-qur’an parsial
Bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa sekan-akan
al-qur’an memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat
lain yang sama dengannya. Ketidakmauan para mufasir untuk memperhatikan
ayat-ayat yang lain disebut sebagai salah satu konsekuesi logis dari penafsiran
yang menggunakan metode analitis, karena di dalam metode ini tidak ada
keharusan bagi mufasir untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat
yang lain sebagaimana yang diutamakan dalam tafsir dengan metode komparatif..
2)
Melahirkan
penafsiran yang Subjektif
Di dalam metode analitis, para mufasir mengemukakan ide-ide dan
pemikirannya, sehingga terkadang mufasir bahwa dia telah menafsirkan ayat
al-qur’an secara subjektif, dan mustahil diantara mereka ada yang menafsirkan
al-qur’an sesuai dengan hawa nafsunya tanpa menindahkan norma-norma yang
berlaku. Sikap subjektif ini dikarenakan fanatiknya terhadap suatu madzhab.
Jadi, sikap subjektif para mufasir dalam metode ini, mendapat
tempat yang luas bila dibandingkan metode lainnya. Dikarenakan sangat
menonjolnya sikap subjektif mufasir inilah yang menjadikan metode ini menjadi
lemah dan kurang representatif.
3)
Masuk
pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi dalam mengemukakan
pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran masuk tidak terkecuali
pemikiran israiliat. Sebelumnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-qur’an. Namun setelah memasuki
tafsir tahlili akan timbul negatifnya[20].
Kekurangan atau kelemahan dalam metode tahlili tidak berarti
sesuatu yang negative, sehingga dalam pemikiran kita dilarang dalam menggunakan
metode ini. Tidak demikian, namun ini akan menjadikan para ahli tafsir agar
lebih berhati-hati dalam menafsirkan suatu ayat, sehinggatidak terjadi salah
penafsiran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Metode analitis
atau metode tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Pembagian metode
tafsir tahlili, dibagi menjadi beberapa bagian seiring perkembangan zaman dan
kebutuhan akan penjelasan suatu ayat di dalam al-qur’an, yaitu tafsir bi al-matstur, da
nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang disebut tafsir bi
al-ra’yi, at-tafsir al-shufi, tafsir
al-fasafy, tafsir al-fiqhi, tafsir
al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Dalam menafsirkan
suatu ayat para mufasir menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Adapun
metode tahlili dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang akan menjadikan
para ahli tafsir memiliki sikap kehati-hatian dalam menafsirkan suatu ayat agar
tidak terjadi salah penafsiran.
Dalam
perkembangan tafsir, metode tahlili telah menyumbangkan peran yang besar dalam
andilnya perkembangan ilmu tafsir, di mana para ahli tafsir yang mampu
menghasilkan karya-karya mereka.
B.
Saran
Penulis menyadari karya tulis ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kitik dan saran guna melengkapi makalah
ini, agar nantinya dalam pembuatan makalah-makalah ke depannya jauh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2012
Dr.Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998
H.M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung:
Mizan, 1992
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
Prof.Dr.H.Abuddin Nata M.A, Studi
Islam Komperhensif, Jakarta: Kenca Prenada Media Grup, 2011
[1]
Dr.nasruddin Baidan, Metodiologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hal.31
[2]
Prof. DR.H. Abudin Nata,M.A, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana,
2011), hal.169
[3]Ibid,
hal.169
[4]
H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal.84
[5]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera
AntarNusa, 2012), hal.14-15
[6]Dr.Nashruddin Baiddan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an,.........hal.41
[7]Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: POKJA Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal.71
[10]Prof.DR.H.Abuddin Nata, Studi Islam
Komperhensif,..........hal.173
[12]Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pengantar
Studi Islam,........hal.73
[13]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’n,.........hal.24
[14]Pokja
UIN Sunan Kalijaga, Penagntar Studi Islam,………..hal.74
[15]Ibid,……..hal.73
[16]Ibid,………hal.75
[17]Ibid,……hal.76
[18]
Dr,Nshruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-qur’an,………hal.52
[19]Ibid,………..hal.54
[20]Ibid,……….hal.59-60
sippplah. buat terus dong matri yang lain...
BalasHapus