TOKOH-TOKOH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916
M)
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul
Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat,
pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di Makkah hari Senin 8
Jumadil Awal 1334 H (1916 M). Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa
ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Banyak sekali
murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari mereka
menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji
Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho
Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas
Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa
Parabek, Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan
Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan,
dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.
Syeikh Ahmad Khatib adalah ulama besar
Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram,
sekaligus Mufti Mazhab Syafii pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia
memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para
ulama Indonesia. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap
pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu
fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Gagasan-gagasan:
Perhatiannya terhadap hukum waris sangat
tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa
pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Salah satu kritik
Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul
Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin
trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Selain
masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak
digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari
termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan
bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi
untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui
rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang
geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam
al-Hussab.
Semasa hidupnya, ia menulis 49 buku tentang
masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke
wilayah Syiria, Turki dan Mesir.Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab
dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali
al-Jaibiyah. Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh
al-Waraqat, tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan
al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab. Kitab-kitab
lainnya adalah al-Da’il Masmu’fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad
al-Akhawat ma’a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru’, Dhau al-Siraj dan Shulh
al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addud al-Jum’atain.
KH. M. Hasyim
Asy’ari (1871-1947 M)
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 H atau 14 Februari l871
M. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari
Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah
keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara
Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan
dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang
tuanya, memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo.
Di pesantren yang diasuh, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber
Islam yang diinginkan. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya
berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim
kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun l893, ia
berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun.
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya,
Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.
KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri,
KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat,
keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun
Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang
jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat
Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda
adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga
pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis
dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan
saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat
Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat
juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang
menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari
gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh,
Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua
guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi,
antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di
Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat
mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam
yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian
santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu
saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya
bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran
Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib
ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya
juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia
menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap
bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan
ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki
kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan
bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok
tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis,
sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk
dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak
tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para
sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori
KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok
tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah
yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya
kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional
kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan
federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga
pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan
juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari
dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim
menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tengku Muhammad Hasbi Asy-Syiddieqy (1904-1975 M)
Latar Belakang Kehidupan
Muhammad Hasbi dilahirkan pada tanggal 10 Maret
1904 M di Lhokseumawe, Aceh Utara. Ibunya bernama Tengku amrah, putrid Tengku
Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama
Al-Haj Tengku Muhammad Husen bin Muhammad Su’ud. Hasbi adalah keturunan ketiga
puluh tujuh dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, oleh karena itulah sejak tahun 1952 M,
atas saran Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalali seorang ulama berdarah Arab yang
mukim di Aceh, Hasbi menggunakan sebutan Ash-Shiddieqy dibelakang namanya
sebagai nama keluarga.[1]
Hasbi telah menjadi piatu sejak umur 6 tahun
karena ibunya wafat pada tahun 1910 M. Akhirnya beliau diasuh oleh Tengku Syamsiyah
bibinya sendiri yang tidak berputra, namun baru 2 tahun tinggal disana tepatnya
tahun 1912 Tengku Syamsiyah dipanggil kehadirat ilahi. Kemudian Hasbi memilih
untuk tinggal dirumah kakaknya bernama Tengku Maneh. Hasbi menikah di umur 19
tahun dengan Siti khadidjah, namun tidak berlangsung lama karena isterinya
meninggal ketika melahirkan anak pertama, tidak lama kemudian anak pertamanya
itu juga meninggal menyusul Ibunya. Kemudian Beliau menikah lagi dengan
sepupunya bernama Tengku Nyak Asiyah. Dengan Tengku Asiyah inilah Hasbi
mengarungi kehidupannya hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9
Desember 1975 di Jakarta.
Karya-karya Hasbi
Karya tulisnya yang pertama adalah dalam bentuk
booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet, selain itu banyak sekali karya-karya
beliau dalam bentuk buku baik dalam bidang Tafsir, hadits maupun fiqh antara
lain: Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Zakat, Tafsir An-Nur, Mutiara Hadits,
Koleksi Hadits Hukum, Kuliah Ibadah, Pengantar Ilmu Fiqh, Pengantar Fiqh Mu’amalah,
Falsafah Hukum islam, Pedoman Haji dan masih banyak yang lainnya.[2]
- Dalil-dalil yang digunakan Hasbi
- Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan
hukum Islam.
- As-Sunnah
- Ijma’
Menurut Hasbi Ijma’ Shahabi dan Ulama salaf
Mutaqaddimin adalah ijma’ yang sah dan jelas. Sementara untuk Ijma’ Ulama
Mutaakhirin perlu diteliti keabsahannya, sebab seringkali apa yang dikatakan
hasil Ijma’ para ulama Mutaakhirin hanyalah Ijma’ dikalangan Ulama madzhab
tertentu saja. Selanjutnya menurut Hasbi untuk menghindari perbedaan faham
tentang Ijma’ perlu dikembalikan pada pengrtian Ijma’ kepada makna harfiahnya
seperti yang difahami pada awal Islam. Ijma’ menurut Hasbi adalah hasil
musyawarah bulat mufakat anggota Ahl al-Hali qa al-‘Aqdi.
Buya HAMKA
(1908-1981 M)
Buya Hamka seorang ulama, politisi dan
sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia. HAMKA adalah
akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung
Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24
Juli 1981. Dia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami,
atau seseorang yang dihormati. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, disapa
Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya
dari Makkah 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah
Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun,
ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti
pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan
Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada
tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang
pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam,
Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga
tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam,
Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun
1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama
Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih
antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan
politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti
Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold
Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca
dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui
pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun
1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang
Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah
dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian
beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat
oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta
pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan
Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau
kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan
oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925
ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,
beliau membantu menentang kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui
pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau
menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan
Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada
tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka telah dipenjarakan oleh
Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka
beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah
Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan
anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik,
Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun
1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan
karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir
al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan
menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada
peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris
Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan
Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada
pemerintah Indonesia.
K. H. Ahmad Azhar Basyir MA (1928-1994 M)
K. H. Ahmad Basyir lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 November 1928. Beliau
lulus dari Perguruan Tinggi Islam Negeri Yogyakarta pada tahun 1956. Beliau
kemudian mengenyam pendidikan di universitas Kairo dan memperoleh gelar MA
dengan predikat mumtas.
Banyak sekali karya yang telah beliau bukukan
terutama dalam bidang fiqh, antara lain yakni: Hukum Perkawinan Islam, Hukum
Waris Islam, Asas-asas hokum Mu’amalat, Hukum Islam tetang Riba, Hukum Islam
tentang Wakaf, Falsafah Ibadah dalam Islam, Kawin Campur, Hukum Zakat dan lain
sebagainya.
Beliau menjadi Dosen Universitas Gadjah Mada
sejak tahun 1969, dan juga menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam
Indonesia(UII) serta Perguruan Tinggi Lain di Indonesia. Selain itu beliau juga
aktif di Organisasi Muhammadiyah dan pernah terpilih sebagai ketua Pp periode
1990-1995. Namun setahun sebelum menyelesaikan jabatan ketuanya itu beliau
wafat tepatnya pada tanggal 28 Juni 1994.
Prof. KH.
Ibrahim Hosen (1916- 2001 M)
Ibrahim Hosen lahir dikota Bengkulu, Sumatera
pada tanggal 1 Januari 1916. Beliau adalah keturunan para Sultan dan Ulama
Bugis yang berada di Sulawesi Selatan. Ayahnya adalah KH Husen bin Abdusy
Syakur ulama besar kota Bengkulu, Ibunya adalah Zawiyah dari keturunan kerajaan
Bengkulu. Ibrahim Hosen dibesarkan dalam keluarga yang serba ada, beliau
dicukupi dengan ilmu agama sejak kecil. Beliau belajar Al-Qur’an dan ilmu agama
dari ayahnya dan para ulama di Bengkulu. Sejak kecil kecerdasan sudah merupakan
ciri khasnya, hal ini yang menjadikan beliau sebagai murid yang teramat
disayangi oleh para gurunya. Sewaktu ayahnya pindah ke Singapura beliau memulai
sekolahnya di sekolah As-Saqqaf, Singapura kemudian melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi di pelbagai pesantren di Jawa. Di antaranya Banten yang kala itu
di pimpin oleh KH. Tubagus Shaleh Ma’mun, seorang Qari’ ternama dan ahli agama.
Kemudian beliau melanjutkan ke Cirebon Timur dan berguru kepada KH Abbas, salah
satu murid KH Hasyim Asy‘ari di Jombang (Pendiri Nahdlatul Ulama). Kemudian
beliau berpindah dan melanjutkan ke Solo berguru kepada Ust Husain As-Saqqaf
mempelajari bahasa Arab dan Fiqih. Setelah menyelesaikan studinya beliau
melanjutkan ke Sukabumi dan berguru kepada KH Sanusi, dimana beliau belajar
Kitab al-Umm [karya Imam Syafi’i] dan ilmu Balaghah. Setelah menamatkan
sekolahnya di berbagai pesantren di jawa, beliau melanjutkan ke Universitas
al-Azhar – Kairo, Mesir jurusan Syari’ah dan meraih gelar S1 pada tahun
1960. Sewaktu beliau di Mesir beliau menggunakan kesempatan itu untuk berguru
dan menggali ilmu agama sedalam-dalamnya, maka beliau berguru Nahwu-Sharaf kepada
Prof. Dr Ahmad Kuhel dan berguru Ilmu Balaghah kepada Prof. Dr. Hassan Gad. Dan
mendalami ilmu Ushul Fiqih kepada Prof.Dr. Abu Anwar Zuhair, Semoga
Allah merahmati mereka semua. Ibrahim Hosen telah menggapai berbagai
ilmu yang bermanfaat khususnya dalam bidang perbandingan mazhab (fiqih muqaran)
sehingga dengan ilmu yang telah beliau garap, beliau sanggup dan berhasil
mengistinbathkan beberapa hukum bagi masalah-masalah yang belum ada
hukumnya. Diantara kasus-kasus yang berhasil beliau istinbathkan (mengeluarkan
fatwa hukumnya) ialah :
- Pemerintah adalah dalam pandangan Islami
- Wanita boleh /mubah menjadi pemimpin (presiden)
- Seorang dokter mubah melihat aurat besar [kemaluan] pasiennya untuk kepentingan pemeriksaan dan pemasangan alat KB
- Penentuan Hilal ‘Ied fitri dan ‘Idul adhha merupakan wewenang pemerintah [ulul amri] dan bukan merupakan wewenang suatu lembaga atau golongan Islam tertentu. Karena dalam penentuan tersebut pemerintah yang berkewajiban untuk menentukan dan masyarakat Islam wajib mengikuti ketentuan pemerintah dalam hal ini. Disamping itu, hal demikian menutup pintu perpecahan dan perselisihan antara golongan-golongan Islam
- Wanita boleh menjadi Jaksa
- Tayamum boleh dilakukan dengan apapun yang thahir di muka bumi ini, karena kata “Sha’idan” yaitu segala sesuatu yang muncul dari muka bumi
- Wanita sah menjadi imam shalat yang berma’mumkan laki-laki, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu daud di sunannya bahwa Ummu waraqah mengimami shalat dan ma’mumnya ketika itu adalah anak laki-laki kecil dan pamannya.
- Laba Bank adalah haram karena merupakan riba yang diharamkan Allah SWT.
- Pembaharuan dalam pengertian judi. Judi haram bukan karena zatnya [judinya itu sendiri] akan tetapi karena madharat dan efek buruknya.
- Minuman yang dijadikan bahan dasar khamer dan bukan berasal dari anggur maka bila diminum tidak melebihi batasan yang memabukkan halal.
- Khamer yang berbahan dasar anggur, alcohol dan itanol, sebenarnya adalah bahan yang suci dan bukanlah bahan yang najis, oleh karena itu boleh seseorang menggunakan wewangian yang mengandung alcohol ketika shalat. Hal demikian sesuai dengan pendapat Abu Hanifah akan tetapi bertentangan sengan pendapat Imam Syafi’i.
Selama hidupnya beliau dikenal sebagai sosok
pembaharu dan pemikir ulung, bersama KH Ahmad Dahlan, beliau membuka Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Qur’an (khusus laki-laki) dan membangun bersama KH Sulaiman
Affan Institut Ilmu Al-Qur’an (Khusus wanita) yang kemudian dikembangkan dan
dilestarikan kemurniannya oleh ibu Herwini Yusuf.
Dalam dunia pekerjaan beliau pernah menjadi
penasehat menteri agama Alamsyah Ratu Perwira negara, dan ketua dewan fatwa
Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan masih banyak posisi-posisi yang telah
beliau tempati dan isi dengan ilmu yang telah diperolehnya semasa hidupnya.
Mampir ah,... hehehe.
BalasHapusBoleh kannd mbak..
Link : http://santriindigocilacap.blogspot.com/
Cyber Cilacap
malam
BalasHapussaya ada pertanyaan tentang hukum.
apa pendapat anda mengenai PT ASTRA HONDA MOTOR (yang memproduksi spare part honda) dikaitkan dgn perjanjian integrasi vertikal, dasar hukum nya pasal 14 uu anti monopoli.
terimakasih