Rabu, 09 Januari 2013

Tokoh Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia


TOKOH-TOKOH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M)
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M). Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.
Syeikh Ahmad Khatib adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafii pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Gagasan-gagasan:
Perhatiannya terhadap hukum waris sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu. Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya. Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.
Semasa hidupnya, ia menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan Mesir.Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah. Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat, tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da’il Masmu’fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma’a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru’, Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addud al-Jum’atain.

KH. M. Hasyim Asy’ari (1871-1947 M)
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 H atau 14 Februari l871 M. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun l893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.
KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tengku Muhammad Hasbi Asy-Syiddieqy (1904-1975 M)
Latar Belakang Kehidupan
Muhammad Hasbi dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 M di Lhokseumawe, Aceh Utara. Ibunya bernama Tengku amrah, putrid Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Ayahnya bernama Al-Haj Tengku Muhammad Husen bin Muhammad Su’ud. Hasbi adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, oleh karena itulah sejak tahun 1952 M, atas saran Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalali seorang ulama berdarah Arab yang mukim di Aceh, Hasbi menggunakan sebutan Ash-Shiddieqy dibelakang namanya sebagai nama keluarga.[1]
Hasbi telah menjadi piatu sejak umur 6 tahun karena ibunya wafat pada tahun 1910 M. Akhirnya beliau diasuh oleh Tengku Syamsiyah bibinya sendiri yang tidak berputra, namun baru 2 tahun tinggal disana tepatnya tahun 1912 Tengku Syamsiyah dipanggil kehadirat ilahi. Kemudian Hasbi memilih untuk tinggal dirumah kakaknya bernama Tengku Maneh. Hasbi menikah di umur 19 tahun dengan Siti khadidjah, namun tidak berlangsung lama karena isterinya meninggal ketika melahirkan anak pertama, tidak lama kemudian anak pertamanya itu juga meninggal menyusul Ibunya. Kemudian Beliau menikah lagi dengan sepupunya bernama Tengku Nyak Asiyah. Dengan Tengku Asiyah inilah Hasbi mengarungi kehidupannya hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta.
Karya-karya Hasbi
Karya tulisnya yang pertama adalah dalam bentuk booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet, selain itu banyak sekali karya-karya beliau dalam bentuk buku baik dalam bidang Tafsir, hadits maupun fiqh antara lain: Al-Islam, Pedoman Shalat, Pedoman Zakat, Tafsir An-Nur, Mutiara Hadits, Koleksi Hadits Hukum, Kuliah Ibadah, Pengantar Ilmu Fiqh, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Falsafah Hukum islam, Pedoman Haji dan masih banyak yang lainnya.[2]
  1. Dalil-dalil yang digunakan Hasbi
  2. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum Islam.
  1. As-Sunnah
  2. Ijma’
Menurut Hasbi Ijma’ Shahabi dan Ulama salaf Mutaqaddimin adalah ijma’ yang sah dan jelas. Sementara untuk Ijma’ Ulama Mutaakhirin perlu diteliti keabsahannya, sebab seringkali apa yang dikatakan hasil Ijma’ para ulama Mutaakhirin hanyalah Ijma’ dikalangan Ulama madzhab tertentu saja. Selanjutnya menurut Hasbi untuk menghindari perbedaan faham tentang Ijma’ perlu dikembalikan pada pengrtian Ijma’ kepada makna harfiahnya seperti yang difahami pada awal Islam. Ijma’ menurut Hasbi adalah hasil musyawarah bulat mufakat anggota Ahl al-Hali qa al-‘Aqdi.
  1. Al-Qiyas dan Ar-Ra’yu.[3]
  2. Al-Urf.[4]
Buya HAMKA (1908-1981 M)
Buya Hamka seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia. HAMKA adalah akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Dia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, disapa Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

K. H. Ahmad Azhar Basyir MA (1928-1994 M)
            K. H. Ahmad Basyir lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 November 1928. Beliau lulus dari Perguruan Tinggi Islam Negeri Yogyakarta pada tahun 1956. Beliau kemudian mengenyam pendidikan di universitas Kairo dan memperoleh gelar MA dengan predikat mumtas.
Banyak sekali karya yang telah beliau bukukan terutama dalam bidang fiqh, antara lain yakni: Hukum Perkawinan Islam, Hukum Waris Islam, Asas-asas hokum Mu’amalat, Hukum Islam tetang Riba, Hukum Islam tentang Wakaf, Falsafah Ibadah dalam Islam, Kawin Campur, Hukum Zakat dan lain sebagainya.
Beliau menjadi Dosen Universitas Gadjah Mada sejak tahun  1969, dan juga menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam Indonesia(UII) serta Perguruan Tinggi Lain di Indonesia. Selain itu beliau juga aktif di Organisasi Muhammadiyah dan pernah terpilih sebagai ketua Pp periode 1990-1995. Namun setahun sebelum menyelesaikan jabatan ketuanya itu beliau wafat tepatnya pada tanggal 28 Juni 1994.

Prof. KH. Ibrahim Hosen (1916- 2001 M)
Ibrahim Hosen lahir dikota Bengkulu, Sumatera pada tanggal 1 Januari 1916. Beliau adalah keturunan para Sultan dan Ulama Bugis yang berada di Sulawesi Selatan. Ayahnya adalah KH Husen bin Abdusy Syakur ulama besar kota Bengkulu, Ibunya adalah Zawiyah dari keturunan kerajaan Bengkulu. Ibrahim Hosen dibesarkan dalam keluarga yang serba ada, beliau dicukupi dengan ilmu agama sejak kecil. Beliau belajar Al-Qur’an dan ilmu agama dari ayahnya dan para ulama di Bengkulu. Sejak kecil kecerdasan sudah merupakan ciri khasnya, hal ini yang menjadikan beliau sebagai murid yang teramat disayangi oleh para gurunya. Sewaktu ayahnya pindah ke Singapura beliau memulai sekolahnya di sekolah As-Saqqaf, Singapura kemudian melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di pelbagai pesantren di Jawa. Di antaranya Banten yang kala itu di pimpin oleh KH. Tubagus Shaleh Ma’mun, seorang Qari’ ternama dan ahli agama. Kemudian beliau melanjutkan ke Cirebon Timur dan berguru kepada KH Abbas, salah satu murid KH Hasyim Asy‘ari di Jombang (Pendiri Nahdlatul Ulama). Kemudian beliau berpindah dan melanjutkan ke Solo berguru kepada Ust Husain As-Saqqaf mempelajari bahasa Arab dan Fiqih. Setelah menyelesaikan studinya beliau melanjutkan ke Sukabumi dan berguru kepada KH Sanusi, dimana beliau belajar Kitab al-Umm [karya Imam Syafi’i] dan ilmu Balaghah. Setelah menamatkan sekolahnya di berbagai pesantren di jawa, beliau melanjutkan ke Universitas al-Azhar – Kairo, Mesir jurusan Syari’ah dan meraih gelar S1 pada tahun 1960. Sewaktu beliau di Mesir beliau menggunakan kesempatan itu untuk berguru dan menggali ilmu agama sedalam-dalamnya, maka beliau berguru Nahwu-Sharaf kepada Prof. Dr Ahmad Kuhel dan berguru Ilmu Balaghah kepada Prof. Dr. Hassan Gad. Dan mendalami ilmu Ushul Fiqih kepada Prof.Dr. Abu Anwar Zuhair, Semoga Allah merahmati mereka semua. Ibrahim Hosen telah menggapai berbagai ilmu yang bermanfaat khususnya dalam bidang perbandingan mazhab (fiqih muqaran) sehingga dengan ilmu yang telah beliau garap, beliau sanggup dan berhasil mengistinbathkan beberapa hukum bagi masalah-masalah yang belum ada hukumnya. Diantara kasus-kasus yang berhasil beliau istinbathkan (mengeluarkan fatwa hukumnya) ialah :
  1. Pemerintah adalah  dalam pandangan Islami
  2. Wanita boleh /mubah menjadi pemimpin (presiden)
  3. Seorang dokter mubah melihat aurat besar [kemaluan] pasiennya untuk kepentingan pemeriksaan dan pemasangan alat KB
  4. Penentuan Hilal ‘Ied fitri dan ‘Idul adhha merupakan wewenang pemerintah [ulul amri] dan bukan merupakan  wewenang suatu lembaga atau golongan Islam tertentu. Karena dalam penentuan tersebut pemerintah yang berkewajiban untuk menentukan dan masyarakat Islam wajib mengikuti ketentuan pemerintah dalam hal ini. Disamping itu, hal demikian menutup pintu perpecahan dan perselisihan antara golongan-golongan Islam
  5. Wanita boleh menjadi Jaksa
  6. Tayamum boleh dilakukan dengan apapun yang thahir di muka bumi ini, karena kata “Sha’idan” yaitu segala sesuatu yang muncul dari muka bumi
  7. Wanita sah menjadi imam shalat yang berma’mumkan laki-laki, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu daud di sunannya bahwa Ummu waraqah mengimami shalat dan ma’mumnya ketika itu adalah anak laki-laki kecil dan pamannya.
  8. Laba Bank adalah haram karena merupakan riba yang diharamkan Allah SWT.
  9. Pembaharuan dalam pengertian judi. Judi haram bukan karena zatnya [judinya itu sendiri] akan tetapi karena madharat dan efek buruknya.
  10. Minuman yang dijadikan bahan dasar khamer dan bukan berasal dari anggur maka bila diminum tidak melebihi batasan yang memabukkan halal.
  11. Khamer yang berbahan dasar anggur, alcohol dan itanol, sebenarnya adalah bahan yang suci dan bukanlah bahan yang najis, oleh karena itu boleh seseorang menggunakan wewangian yang mengandung alcohol ketika shalat. Hal demikian sesuai dengan pendapat Abu Hanifah akan tetapi bertentangan sengan pendapat Imam Syafi’i.
Selama hidupnya beliau dikenal sebagai sosok pembaharu dan pemikir ulung, bersama KH Ahmad Dahlan, beliau membuka Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (khusus laki-laki) dan membangun bersama KH Sulaiman Affan Institut Ilmu Al-Qur’an (Khusus wanita) yang kemudian dikembangkan dan dilestarikan kemurniannya oleh ibu Herwini Yusuf.
Dalam dunia pekerjaan beliau pernah menjadi penasehat menteri agama Alamsyah Ratu Perwira negara, dan ketua dewan fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan masih banyak posisi-posisi yang telah beliau tempati dan isi dengan ilmu yang telah diperolehnya semasa hidupnya.

Selasa, 08 Januari 2013

Metode Tafsir Tahlili


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Al-qu’ran sebagai sumber ajaran Islam pertama dan sebagai pedoman umat Islam, yang didalamnya terdapat berbagai macam ayat yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya dan mempelajarinya.Sehingga muncullah berbagai penafsiran dari para ulama ahli tafsir dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy.
Banyak cara pendekatan dan pembagian tafsir yang mengandalkan penalaran ataupun analitis, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu..
Pentingnya metode tafsir tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat AlQuran itu sendiri secara mendalam.
Dalam pembahasan makalah ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan dan menguraikan dari pengertian metode tafsirtahlili, pembagian dari metode tafsir tahlili,ciri-ciri metode ini,dan jugakelebihan dan kekurangan metode tahlili.





B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari metode tafsir tahlili?
2.      Bagaimanakah pembagian dari metode tafsir tahlili?
3.      Apasajakah ciri-ciri dari metode tafsir tahlili?
4.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili





C.     Tujuan Penulisan:
1.      Untuk mendeskripsikan dari pengertian metode tafsir tahlili,
2.      Untuk mengetahui pembagian dari metode tafsir tahlili,
3.      Untuk mengetahui ciri-ciri dari metode tafsir tahlili,
4.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili.








                                                            BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Metode Tafsir Tahlili
Kata “tahlili” berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa. Yang dimaksud dengan metode analitis yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan maknanya yang dikandung oleh Al-qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannnya dengan ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya, dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh nabi, sahabat, para tabi’in maupun tafsir lainnya[1].
Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzi’i adalah suatu metode tafsir yang mufasirya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahlily diuraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.    Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam Al-qur’an, mulai dari Surah Al Fatikhah hingga Surah An-Nass,
2.    Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir riwayah),
3.    Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya,
4.    Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain,atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW ataudengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan,
5.    Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut[2].



B.  Pembagian Metode Tafsir Tahlili

Dengan demikian, dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ada yang menggunakan sandaran hadist-hadist Rasulullah yang selanjutnya disebut tafsir bi al-matstur, da nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang disebut tafsir bi al-ra’yi. Namun seiring perkembangan zaman, selanjutnya metode tahlili berkembang menjadi beberapa bagian, yaitu: at-tafsir al-shufi,  tafsir al-fasafy, tafsir al-fiqhi,  tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.


1.    Tafsir bi Al-Matsur
Tafsir bi al-matsur adalah penafsiran dengan menengahkan penafsiran pada para sahabat nabi dan para kaum tabi’in yang selalu disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayat) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat[3].
Mengandalkan metode tahlili dengan pedekatan tafsir bi al-matsturmemiliki keistimewaan, namun juga memiliki kekurangan. Adapun keistimewaannya, yaitu:
1.    Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-qur’an
2.    Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
3.    Megikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektifitas berlebihan

Adapun kekurangan tafsir bi al-matsur yaitu:
1.    Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustrasaan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-qu’an menjadi kabur dicelah uraian itu
2.    Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab nuzulatau situasi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat tersebutbagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya[4].


Dalam perkembangannya tafsir bi bi al-matstur  terdapat silang pendapat pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat. Pendapat mereka sedikit sekali jumlahnya disbanding dengan generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar oerbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicangkupnya:
Berkata Ibn Taimiyah:
Perbedaaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit jumlahnya. Dana pada umumnya perbedaan itu berkonotasi variatif, bukan kontradiktif. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang mufasir diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi berbeda dari seorang mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjukan makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan qur’an, maksudnya mengikuti qur’an, sedang yng lain dengan Islam. Kedua tafsiran ini sama, sebab islam ialah mengikuti al-qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh orang lain.
Kedua, masing-masing mufasir menafsirkan kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh danuntuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran firman Allah:
“kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (dzalim) terhadap diri sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) da nada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan”(QS.Fatir: 32).
Dikatakan sabiq ialah orang yang menunaikan shalat diawal waktu, muqtasid ialah orang yang melakukan shalat di tengah waktu, sedang zalim ialah orang yang mengakhirkan shalat asar sampai saat langit berwarna kekuning-kuningan. Mufasir lain mengatakan sabiq adalah orang yang berbuat baik dengan bersedekah dismping zakat, muqtasid  adalah orang yang menjalankan zakat wajib saja, dan  zalim adalah orang yang enggan membayar zakat[5].
Contoh dari tafsir ini, yaitu:
ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب فا ينما تؤ لؤ ا ؤ جه ا لله ا ن ا لله ؤ ا سع عليم
milik Allah timur dan barat, maka kearah mana saja kamu menghadap, disana ada Allah. Sesungguhnya Allah maha Lapang (memberikan toleransi untuk menghadap kepada-Nya dimana saja)lagi maha Mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 115)
Yang dimaksud dengan oleh Allah degan firmannya,ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب ) ) ialah Allah berwenang penuh atas kepemilikan dan pengaturan keduanya, seperti dikatakan: “rumah ini kepunyaan si Fulan”, artinya dia berwenang penuh atas kepemilikan rumah itu.
Dalam kasus ulama, ayat ini turun kepada Nabi SAW sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan, atau menemuikesukaran di dalam shalat wajib. Dengan demikian diberitahukan kepada Nabi bahwa ke mana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah[6].
Adapun kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam deretan tafsir bi al matsur  yaitu, Jami Al-Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Thabary, Ma’alim Al-Tanzil yang terkenal dengan Al-Tafsir bi Al-Manqul karya Imam Al-Baghawi, Al-Durr Al-Matsur fy At-tafsir bi Al-Ma’tsur karya Jalal al-Din Al-Suyuthy, Tanwir al-Miqyas min Tafsir Ibn Abbas karya al-Fayruzabady, Tafsir al-Qur’n Al-‘Adhim karya Abu Al-Fida’, dan Al-Bahr karya Abu al-Layts al-Samarqandy[7]

2.    Tafsir Bi Ar-Ra’y
Tafsir bi ar-ra’y adalah tafsir ayat-ayat Al-qur’an yang didasarkan pada ijtihad para mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. Menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan diterimanya tafsir ar-ra’y, bahwa penafsirnya: a). Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, b). Mengetahui asbabun nuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, dan ilmu-ilmu yang lain, c).Tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, d). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi, e). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud justifikasi terhadap aliran tersebut, f). Tidak menganggap bahwa tafsirnya itulah yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti[8].
Contoh dari pemikiran tafsir ini yaitu, dari penjelasan QS. Al-Baqarah: 115, yaitu sesuai dengan maksud ayat فؤ ل ؤ جهك شطر ا لمسجد الحر ا م حيثما كنتم فؤ لؤ ا ؤجؤ هكم شطر ه ,niscaya (di sana ada Allah), artinya di tepat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya di situ”. Yang dimaksud ialah apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Baitul Maqdis, maka janganlah khawatir sebab permukaan bumi telah Ku-jadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu, tidak terikat pada masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat lokasi mana pun. Hal itu dimungkainkan karena Allah Maha Lapang dan Maha Luas. Dia ingin memberi kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha Mengetahui) tentang kemashlahatan dan kebutuhan mereka. Latar belakang ini berdasarkan dengan latar belakang turunnya ayat yang berkenaan denganshalatnya seorang musafir di atas kendaraan di mana dia menghadap arah kendaraannya[9].
Adapun metode tahlili yang menggunakan pendek dan rasio atau tafsir bi ar-ra’y dikalangan para ulama adanya perbedaan pendapat, yaitu ada yang mengharamkan dan adapula yang membolehkan. Pendapat yang mengharamkan berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu atau pemikirannya sendiri, berarti ia telah menyediakan tempatnya didalam neraka”. Sementara pendapat yang membolehkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendapatnya sendiri, adalah penafsiran yang tanpa disertai dalil atau hujjah atau karena orang berusaha menafsirkan Al-qur’an padahal ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dan pokok hukum agama, atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini sejalan dengan perintah Allah sebagaimana dalam sebuah ayat: “Al-Qur’an adalah Kitab yang telah kami turunkan kepadamu (Muhammad), penuh dengan berkah agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang berakal dapat memperoleh pelajaran”. (QS. Shaad: 29)[10].
Menurut hasil penelitian, bahwa tafsir yang paling terkenal yang memenuhi syarat tafsir ar-ra’y yaitu Mafaatih al-Ghaib karya ar-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asraaru al-ta’wil karya al-Baidhawi, Lubaab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil karya Khazin[11].




3.    Tafsir al-Shufy
Tafsir al-Shufy adalah tafsir yang berusaha menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.
Tafsir ini ada dua macam, yaitu: tafsir shufy nadzari (teoritis) yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan ayat Al-Qur’an berdasaran teori-teori atau paham-paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari penafsiran bahasa dan tafsir shufy praktis (‘amali) yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam suluknya.
Diantara kitab-kitab tafsir shufy antara lain tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya al-Tsauri, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami, dan ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an karya al-Syirazy[12].
Sebagai cotoh berkenaan dengan firman Allah:
dan Kami mengangkatnya ke tempat paling tinggi”. (QS.Maryam: 57). Ia berkata, “tempat paling tinggi adalah tempat yang diputari rotasi alam raya, yaitu orbit matahari. Disitulah maqam (tempat tinggal) rohani Idris....”. kemudian Ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah tempat untuk kita, umat Muhammad, sebagaimana telh dijelaskan-Nya,kalian adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (QS.Muhammad: 35). Jadi yang maksudkan (berkenaan dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan[13].




4.    Tafsir al-Fasafy
Tafsir al-fasafy  adalah penafsiran ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat degan ayat-ayat Al-qur’an maupun yan berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-qur’an.
Segi positif dari tafsir ini adalah karena berusaha mengkaji secara filosofis ayat-ayat Al-qur’an yang dapat dikonsumsi oleh kaum cendekiawan, sekaligus memperlihatkan ketinggian dan kedalaman dari ajaran tersebut. Adapun segi negatifnya adalah terjadinya kemungkinan pemaksaan ayat Al-qur’an untuk disesuaikan atau dicocok-cocokan dengan suatu teori atau paham filsafat yang ada.
Contoh dari kitab tafsir ini adalah al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Fakhr al-Razi[14].




5.    Tafsir Al-Fiqhy
Tafsir al-fiqhy adalah tafsir yang menitikberatkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari Al-qur’an.
Keistimewaan tafsir ini adalah menolong kita mendapatkan rujukan-rujukan yang berharga dalam bidang hukum islam. Adapun kekurangnnya, disamping bersifat sekretarian juga cenderung melihat hukum islam secara legal-formal yang tidak memperlihatkan segi-segi dinamika dan hukum islam itu sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam tipe ini, antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an karya al-‘Araby, dan Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya imam al-Qurtuby[15].
Jadi, sistem penafsiran menggunakan tafsir ini melihat dari segi pembahasan tinjauan pada aspek hukum islam di dalam Al-qur’an sebagai pendekatannya.


6.    Tafsir al-‘Ilmy
Tafsir al-‘ilmy adalah menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungan ayat berdasarkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itupenafsiran ilmiah dapat diterima dengan memenuhi syarat-syarat: penafsiran ilmiah sedapat mungkin mengikuti pola tafsir mauhu’iy untuk menghindari parsialisasi, ayat-ayat Al-qur’an tidak hanya befungsi sebagai justifikasi terhadap teori-teori ilmiah yang ada, dan tidak bertentangan dengan ketentuan bahasa Arab sebagai bahasa Al-qur’an.
Segi positif dari penafsiran ini, adalah memperlihatkan bahwa al-qur’an sesungguhnya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan al-qur’an mendorong pengembangan ilmu pengetahuan  untuk kepentingan manusia. Adapun segi negatifnya adalah adanya kecenderungan pemaksaan ayat-ayat al-qur’an sendiri yang pada gilirannya dapat menimbulkan keraguan terhadap keraguan al-qur’an.
Kitab-kitab tafsir ini antara lain: Jawahir fy al-Qur’an karya Syaikh Thanthwi Jawhari, al-Islam fy ‘Ashr al-‘Ilmi karya Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawy, dan al-Ghida’ wa al-Dawa karya Dr.Jamal al-Din al-Fandy[16].


7.    Tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Tafsir al-adaby al-ijtima’y merupakan tafsir yang menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan-tujuan al-qur’an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian mengadakan penjelasan ayat dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan.
Unsur pokok dari tafsir ini, yaitu: menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-qur’an, dengan susunan kalimat yang indah, eksentuasi yang menonjol pada tujuan diuraikannya al-qur’an, dan penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Kelebihan dari tafsir ini, yaitu membumikan al-qur’an dalam kehidupan manusia, menjadikan ajaran-ajaran al-qur’an menjadi lebih praktis dan pragmatis. Sedangkan kekurangannya adalah adanya kecenderunga melegalisasi masalah-masalah sosial budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu dan adanya potensi kearah pemaksaan ayat-ayat al-qur’an untuk tunduk pada teori-teori ilmiah.
Kitab-kitab tasir yang mengggunakan metode ini, antara lain: tafsir al-Manar karya Syaikh Muh.Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir al-Qur’an karya Syaikh Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut dan tafsir al-Wadhih karya Mahmud Hijazy[17].




C.  Ciri-ciri Metode Tafsir Tahlili
Adapun ciri-ciri dalam metode analitis yaitu:
·      Menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan,
·      Bukan menafsirkan al-qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya
·      Melebar dalam penafsirannya
·      Tidak menuntaskan permasalahan melainkan sesuai dengan kapasitas yang ditafsirnya[18].


D.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
1)   Ruang lingkup yang luas
Penafsiran dengan menggunakan metode ini, dikembangkan menurut keahlian para masing-masing mufasir. Contohnya, dalam ahli bahasa berpeluang untuk menafsirkan bahasa al-qur’an dari pemahaman kebahasaaan, seperti tarsir al-Nasafi karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan titik tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli tafsir dalam menafsirkan dari berbagai sudut pandang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Akan tetapi kembali lagi dalm menafsirkannya sesuai dengan kaidah cara penafsiran yang berlaku.
2)   Memuat berbagai Macam Ide
Tafsir ini memuat berbagai macam ide dari para mufasir, dimana mufasir lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-qur’an[19].

Adapun kekurangan dari metode ini yaitu:
1)   Menjadikan petunjuk al-qur’an parsial
Bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa sekan-akan al-qur’an memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat lain yang sama dengannya. Ketidakmauan para mufasir untuk memperhatikan ayat-ayat yang lain disebut sebagai salah satu konsekuesi logis dari penafsiran yang menggunakan metode analitis, karena di dalam metode ini tidak ada keharusan bagi mufasir untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain sebagaimana yang diutamakan dalam tafsir dengan metode komparatif..

2)   Melahirkan penafsiran yang Subjektif
Di dalam metode analitis, para mufasir mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga terkadang mufasir bahwa dia telah menafsirkan ayat al-qur’an secara subjektif, dan mustahil diantara mereka ada yang menafsirkan al-qur’an sesuai dengan hawa nafsunya tanpa menindahkan norma-norma yang berlaku. Sikap subjektif ini dikarenakan fanatiknya terhadap suatu madzhab.
Jadi, sikap subjektif para mufasir dalam metode ini, mendapat tempat yang luas bila dibandingkan metode lainnya. Dikarenakan sangat menonjolnya sikap subjektif mufasir inilah yang menjadikan metode ini menjadi lemah dan kurang representatif.

3)   Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran masuk tidak terkecuali pemikiran israiliat. Sebelumnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-qur’an. Namun setelah memasuki tafsir tahlili akan timbul negatifnya[20].

Kekurangan atau kelemahan dalam metode tahlili tidak berarti sesuatu yang negative, sehingga dalam pemikiran kita dilarang dalam menggunakan metode ini. Tidak demikian, namun ini akan menjadikan para ahli tafsir agar lebih berhati-hati dalam menafsirkan suatu ayat, sehinggatidak terjadi salah penafsiran.













BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Metode analitis atau metode tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Pembagian metode tafsir tahlili, dibagi menjadi beberapa bagian seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan penjelasan suatu ayat di dalam al-qur’an, yaitu tafsir bi al-matstur, da nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang disebut tafsir bi al-ra’yi, at-tafsir al-shufi,  tafsir al-fasafy, tafsir al-fiqhi,  tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Dalam menafsirkan suatu ayat para mufasir menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Adapun metode tahlili dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang akan menjadikan para ahli tafsir memiliki sikap kehati-hatian dalam menafsirkan suatu ayat agar tidak terjadi salah penafsiran.
Dalam perkembangan tafsir, metode tahlili telah menyumbangkan peran yang besar dalam andilnya perkembangan ilmu tafsir, di mana para ahli tafsir yang mampu menghasilkan karya-karya mereka.

B.  Saran
Penulis menyadari karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kitik dan saran guna melengkapi makalah ini, agar nantinya dalam pembuatan makalah-makalah ke depannya jauh lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2012

Dr.Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992

Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005

Prof.Dr.H.Abuddin Nata M.A, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kenca Prenada Media Grup, 2011







[1] Dr.nasruddin Baidan, Metodiologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal.31
[2] Prof. DR.H. Abudin Nata,M.A, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.169
[3]Ibid, hal.169
[4] H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal.84
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 2012), hal.14-15
[6]Dr.Nashruddin Baiddan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,.........hal.41
[7]Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar  Studi Islam, (Yogyakarta: POKJA Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal.71
[8]Ibid, hal.71-72
[9]Dr.Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,......hal.49
[10]Prof.DR.H.Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif,..........hal.173
[11]Ibid, hal.174
[12]Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pengantar Studi Islam,........hal.73
[13]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’n,.........hal.24
[14]Pokja UIN Sunan Kalijaga, Penagntar Studi Islam,………..hal.74
[15]Ibid,……..hal.73
[16]Ibid,………hal.75
[17]Ibid,……hal.76
[18] Dr,Nshruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-qur’an,………hal.52
[19]Ibid,………..hal.54
[20]Ibid,……….hal.59-60